Fintech Syariah: Alternatif Pendanaan UMKM yang Tepat di Tengah Pandemi COVID-19? (Part 1)
Departemen Research and Development KSEI CIES FEB UB

Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya untuk menekan penyebaran virus COVID-19 turut memberikan dampak yang serius pada keberlangsungan perusahaan perusahaan terutama usaha-usaha kecil atau sektor UMKM.

Sumber: Kontan.co.id, 2020 (diolah)

Dari grafik di atas terlihat bahwa secara umum terdapat perbandingan yang sangat signifikan antara kondisi usaha sebelum dan setelah terdampak pandemi COVID-19. Sebelum COVID-19, persentase kondisi usaha yang baik mencapai 92,7 persen, sedangkan setelah COVID-19 keadaan justru berbalik dengan 56,8 persen UMKM berada dalam kondisi yang Menurut Tirta, Anggota Dewan Komisioner OJK, kondisi tersebut memicu UMKM untuk memilih jalan instan dengan menggunakan pinjaman online (pinjol) ilegal meskipun memiliki risiko yang sangat besar (Tempo. co). Oleh karena itu dibutuhkan alternatif permodalan lain yang mudah namun tetap sehat bagi para UMKM. Fintech syariah dapat menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih jika melihat skema syariah yang berlaku seharusnya mampu menghindarkan para pelaku UMKM dari bunga atau riba. Oleh karena itu menarik juga untuk dikaji secara lebih mendalam, akankah fintech syariah mampu menjadi alternatif pendanaan yang ideal bagi UMKM di tengah pandemi COVID-19?

Kondisi UMKM di Tengah Pandemi COVID-19

Kondisi pandemi ini juga menyebabkan 63,9 persen dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omzet lebih dari 30 persen. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi perilaku para UMKM dengan melakukan pengurangan produksi barang atau jasa, jam kerja, jumlah karyawan, serta penjualan atau pemasaran. Akan tetapi, terdapat juga pelaku UMKM yang mengambil langkah sebaliknya, yaitu dengan menambah saluran pemasaran sebagai bagian dari strategi bertahan (Katadata. co.id, 2020). Hal tersebut ditandai dengan sekitar 56 persen pelaku UMKM melaporkan terjadi penurunan penjualan, 22 persen melaporkan permasalahan pada aspek pembiayaan, 15 persen melaporkan pada masalah distribusi barang, dan 4 persen melaporkan kesulitan mendapatkan bahan baku mentah.

Penurunan Penjualan

Sebanyak 58% UMKM di Indonesia mengeluhkan bahwa penjualan usaha mereka menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan penjualan UMKM adalah karena adanya perubahan perilaku konsumen. penurunan penjualan terhadap UMKM di Indonesia.
Masalah Pembiayaan (Kesulitan Permodalan)
Sebanyak 22% pelaku UMKM mengalami hambatan dalam masalah pembiayaan. Hal tersebut terjadi karena para pelaku UMKM mengalami gagal bayar akibat permintaannya menurun. Selain itu juga disebabkan karena masih banyaknya para pelaku UMKM yang kesulitan memenuhi persyaratan untuk mengakses modal dari perbankan.

Distribusi Barang Terhambat

Sebanyak 15% pelaku UMKM mengalami hambatan dalam masalah distribusi barang. Adanya penerapan kebijakan PSBB oleh pemerintah menyebabkan pendistribusian barang dan jasa menjadi terhambat karena banyak akses jalan yang dibatasi. Selain itu juga meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap virus COVID-19 menjadikan mereka tidak mau berinteraksi secara langsung dan memilih bertransaksi secara online. Dengan demikian, para pelaku UMKM harus menciptakan keamanan dengan menerapkan protokol kesehatan pada seluruh pelaku ditribusi.

Kesulitan Bahan Baku

Sebanyak 4% pelaku UMKM mengalami kesulitan bahan baku. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga dan kelangkaan stok bahan baku lantaran banyak bahan baku industri nasional yang biasanya harus diimpor dari China. Oleh karena itu, dengan adanya pandemi maka rantai pasokan menjadi terputus sehingga Indonesia mengalami kekurangan bahan baku yang berakibat pada terhambatnya proses produksi.

Kondisi Ekonomi Digital di Masa Pandemi

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga tahun 2020 total pengguna internet di Indonesia mencapai 196 juta jiwa atau sekitar 72% dari total penduduk. Dengan begitu, volume transaksi digital di masa pandemi juga meningkat hingga mencapai 60%. Bahkan menurut Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, pertumbuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan akseptasi dan preferensi masyarakat untuk berbelanja daring, perluasan pembayaran digital, dan akselerasi digital. Berdasarkan data dari Indonesia Fintech Association (IFA), terdapat sekitar 135-140 startup fintech di Indonesia yang terdata dengan jumlah pemain tumbuh sebesar 78% pada tahun 2019 (Wahyuni, 2019).

Hal tersebut bukan tanpa alasan mengingat selama tahun 2020 fintech ini mampu meningkat hingga lebih dari 50% dibandingkan dengan penyaluran pada tahun 2019. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jika terdapat 9 penyelenggara fintech lending syariah dengan total aset mencapai Rp. 109,4 miliar atau memiliki pangsa 2,57% terhadap aset industri fintech lending yang mencapai Rp. 4,23 triliun.

Dari grafik di atas terlihat bahwa secara umum terdapat perbandingan yang sangat signifikan antara kondisi usaha sebelum dan setelah terdampak pandemi COVID-19. Sebelum COVID-19, persentase kondisi usaha yang baik mencapai 92,7 persen, sedangkan setelah COVID-19 keadaan justru berbalik dengan 56,8 persen UMKM berada dalam kondisi yang Menurut Tirta, Anggota Dewan Komisioner OJK, kondisi tersebut memicu UMKM untuk memilih jalan instan dengan menggunakan pinjaman online (pinjol) ilegal meskipun memiliki risiko yang sangat besar (Tempo. co). Oleh karena itu dibutuhkan alternatif permodalan lain yang mudah namun tetap sehat bagi para UMKM. Fintech syariah dapat menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih jika melihat skema syariah yang berlaku seharusnya mampu menghindarkan para pelaku UMKM dari bunga atau riba. Oleh karena itu menarik juga untuk dikaji secara lebih mendalam, akankah fintech syariah mampu menjadi alternatif pendanaan yang ideal bagi UMKM di tengah pandemi COVID-19?

Kondisi UMKM di Tengah Pandemi COVID-19

Kondisi pandemi ini juga menyebabkan 63,9 persen dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omzet lebih dari 30 persen. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi perilaku para UMKM dengan melakukan pengurangan produksi barang atau jasa, jam kerja, jumlah karyawan, serta penjualan atau pemasaran. Akan tetapi, terdapat juga pelaku UMKM yang mengambil langkah sebaliknya, yaitu dengan menambah saluran pemasaran sebagai bagian dari strategi bertahan (Katadata. co.id, 2020). Hal tersebut ditandai dengan sekitar 56 persen pelaku UMKM melaporkan terjadi penurunan penjualan, 22 persen melaporkan permasalahan pada aspek pembiayaan, 15 persen melaporkan pada masalah distribusi barang, dan 4 persen melaporkan kesulitan mendapatkan bahan baku mentah.

Penurunan Penjualan

Sebanyak 58% UMKM di Indonesia mengeluhkan bahwa penjualan usaha mereka menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan penjualan UMKM adalah karena adanya perubahan perilaku konsumen. penurunan penjualan terhadap UMKM di Indonesia.
Masalah Pembiayaan (Kesulitan Permodalan)
Sebanyak 22% pelaku UMKM mengalami hambatan dalam masalah pembiayaan. Hal tersebut terjadi karena para pelaku UMKM mengalami gagal bayar akibat permintaannya menurun. Selain itu juga disebabkan karena masih banyaknya para pelaku UMKM yang kesulitan memenuhi persyaratan untuk mengakses modal dari perbankan.

Distribusi Barang Terhambat

Sebanyak 15% pelaku UMKM mengalami hambatan dalam masalah distribusi barang. Adanya penerapan kebijakan PSBB oleh pemerintah menyebabkan pendistribusian barang dan jasa menjadi terhambat karena banyak akses jalan yang dibatasi. Selain itu juga meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap virus COVID-19 menjadikan mereka tidak mau berinteraksi secara langsung dan memilih bertransaksi secara online. Dengan demikian, para pelaku UMKM harus menciptakan keamanan dengan menerapkan protokol kesehatan pada seluruh pelaku ditribusi.

Kesulitan Bahan Baku

Sebanyak 4% pelaku UMKM mengalami kesulitan bahan baku. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga dan kelangkaan stok bahan baku lantaran banyak bahan baku industri nasional yang biasanya harus diimpor dari China. Oleh karena itu, dengan adanya pandemi maka rantai pasokan menjadi terputus sehingga Indonesia mengalami kekurangan bahan baku yang berakibat pada terhambatnya proses produksi.

Kondisi Ekonomi Digital di Masa Pandemi

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga tahun 2020 total pengguna internet di Indonesia mencapai 196 juta jiwa atau sekitar 72% dari total penduduk. Dengan begitu, volume transaksi digital di masa pandemi juga meningkat hingga mencapai 60%. Bahkan menurut Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, pertumbuhan transaksi ekonomi dan keuangan digital akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan akseptasi dan preferensi masyarakat untuk berbelanja daring, perluasan pembayaran digital, dan akselerasi digital. Berdasarkan data dari Indonesia Fintech Association (IFA), terdapat sekitar 135-140 startup fintech di Indonesia yang terdata dengan jumlah pemain tumbuh sebesar 78% pada tahun 2019 (Wahyuni, 2019).

Hal tersebut bukan tanpa alasan mengingat selama tahun 2020 fintech ini mampu meningkat hingga lebih dari 50% dibandingkan dengan penyaluran pada tahun 2019. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jika terdapat 9 penyelenggara fintech lending syariah dengan total aset mencapai Rp. 109,4 miliar atau memiliki pangsa 2,57% terhadap aset industri fintech lending yang mencapai Rp. 4,23 triliun.

Bagaimana Peran Fintech Syariah dalam pengembangan UMKM di tengah Pandemi?. Yuk, simak lanjutannya di sini!